Mediabhayangkara.id
Di tengah hiruk pikuk hukum, birokrasi, dan politik hari ini, kita sering lupa bahwa berpikir secara logis bukan berarti kita berpikir secara benar. Banyak yang terlihat cerdas dalam berargumen, tetapi justru menyesatkan arah berpikir publik. Itulah mengapa sahabat saya, Nolan, menyatakan dengan sangat tajam: “Logika tidak menuntun ke arah benar atau salah, tapi menuntun pada cara berpikir yang benar.”
Ini adalah pembuka penting untuk memahami bahwa logika – jika hanya digunakan untuk memenangkan debat atau membenarkan kepentingan pribadi – akan berubah menjadi ego, bukan lagi logos (akal sehat yang jernih). Logika yang dibajak oleh ego akhirnya digunakan untuk menjustifikasi kesalahan, bahkan ketidakadilan.
*Ketika Legalitas Kehilangan Legitimasi*
Sering kita mendengar bahwa suatu tindakan sudah "sesuai hukum", "sudah sesuai prosedur", atau "sah secara administrasi". Tetapi apakah semua yang legal itu selalu adil? Jawabannya: tidak selalu.
Mari kita ambil contoh dari sejarah kita sendiri. Pemerintahan Presiden Soeharto saat itu sah secara hukum – ia memiliki kekuasaan legal, tetapi tahun 1998 ia digulingkan oleh gerakan rakyat karena kehilangan legitimasi moral dan sosial. Di sisi lain, Kartini tidak pernah menjadi pemimpin politik, tidak memiliki kekuasaan formal, tetapi hingga hari ini kita mengingatnya karena legitimasinya yang lahir dari keberanian nurani dan pemikiran yang tercerahkan.
Legalitas memang penting. Tapi tanpa legitimasi, ia hanya kerangka kosong.
*Hukum yang Jauh dari Rasa Keadilan*
Banyak sistem hukum kita hari ini masih merupakan warisan kolonial – hukum yang lebih fokus pada pengamanan kekuasaan dan kepemilikan daripada keseimbangan hidup dan rasa keadilan. Dalam hukum kolonial, rakyat diposisikan sebagai subjek yang harus patuh, bukan sebagai pemilik kedaulatan. Maka tak heran jika hingga kini, hukum kita seringkali masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Apakah kita ingin terus hidup di bawah hukum yang hanya berpihak pada yang kuat dan beruang? Atau saatnya kita kembali pada hukum yang berpihak pada kebenaran dan keadilan?
*Spiritualitas dan Nurani dalam Hukum*
Hukum sejati tidak hanya tertulis dalam pasal-pasal, tetapi tertanam dalam hati manusia yang jujur. Di masa lalu, masyarakat adat hidup dengan hukum yang sederhana namun kuat: siapa menanam, dia menuai. Siapa berbuat, dia bertanggung jawab. Ini adalah bentuk hukum yang lahir dari kesadaran spiritual dan sosial, bukan dari ancaman pidana atau iming-iming penghargaan.
Kita kehilangan makna ini ketika hukum hanya dilihat sebagai alat administratif, bukan sebagai jalan menuju keseimbangan. Hukum kemudian menjadi ladang permainan bagi mereka yang cerdas secara teknis, tetapi miskin nurani.
*Logika Tanpa Nurani Adalah Bahaya*
Logika bisa membuat orang terlihat pintar. Tapi jika tidak disertai kesadaran moral, logika bisa menjadi alat pembenaran kejahatan. Banyak koruptor bisa menyusun argumen yang canggih untuk menyembunyikan dosa. Banyak pejabat bisa menjelaskan prosedur dengan lancar, padahal secara substansi menyimpang jauh dari tujuan kebijakan publik.
Itulah mengapa, kata Nolan, jika logika digunakan untuk menetapkan benar-salah tanpa kesadaran, maka yang berbicara bukan lagi akal sehat, tapi ego.
*Kartini: Simbol Kecerdasan Sejati*
Kartini tidak mengenyam pendidikan tinggi. Ia tidak punya gelar, tidak duduk di pemerintahan, tidak menulis undang-undang. Tetapi dengan keberanian berpikir dan menulis, ia menjadi simbol perubahan. Kartini bukan hanya cerdas secara nalar, tetapi juga berani secara moral.
Ia mempertanyakan adat yang menindas. Ia mengkritik tafsir agama yang membungkam perempuan. Dan ia menulis semua itu dengan ketulusan dan harapan, bukan dengan kebencian atau amarah. Di sinilah kita melihat kecerdasan yang menyentuh: bukan sekadar intelektual, tapi spiritual.
Saatnya Menata Ulang Arah Berpikir Bangsa
Kita butuh perubahan arah. Bukan hanya pada kebijakan, tapi pada cara berpikir. Kita harus menghidupkan kembali:
- Cara berpikir yang jernih dan merdeka, tidak dikungkung doktrin atau tekanan;
- Hukum yang membumi, bukan hanya menyalin dari luar atau masa lalu kolonial;
- Keadilan yang berakar pada nilai budaya dan spiritualitas kita sendiri, bukan sekadar mengikuti prosedur administratif;
- Kepemimpinan yang lahir dari legitimasi rakyat dan nurani, bukan sekadar pemenangan elektoral.
Jika air dari gunung (hulu) tak bisa mengalir ke laut karena muaranya ditutup, maka kehidupan akan macet. Begitu pula dalam hukum dan politik: jika saluran keadilan ditutup oleh prosedur dan kepentingan, maka rakyat akan kehilangan kepercayaan.
*Nurani Adalah Arah, Bukan Sekadar Perasaan*
Semoga kita semua kembali percaya bahwa nurani bukan hanya perasaan, tapi arah. Logika yang dipandu nurani akan membawa kita pada jalan yang benar. Hukum yang ditopang legitimasi akan menjadi panglima keadilan. Dan politik yang lahir dari keberanian moral akan membangkitkan harapan rakyat.
Jepara dan Indonesia butuh lebih banyak pemimpin seperti Kartini: yang berpikir jernih, bertindak berani, dan hidup dengan nurani.
Oleh: Djoko TP dan Nolan
penulis ; Chris
(publikasi HR)
Social Footer