SURABAYA, mediabhayangkara.id — Badan Pengkajian MPR RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) Kelompok I bertema “Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Demokrasi Pancasila” di Surabaya, Rabu (26/11/2025).
Kegiatan ini menjadi forum strategis untuk memperkuat relevansi Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa di tengah perkembangan era digital dan dinamika global yang semakin kompleks.
Hadir dalam forum tersebut sejumlah pimpinan dan anggota BP MPR, antara lain Prof. Yasonna H. Laoly, I Gusti Ngurah Kesuma Kelakan, Denty Eka Widi Pratiwi, Guntur Sasono, Jupri Mahmud, Hasan Basri Agus, Ahmad Basarah, Andreas Hugo Pareira, Lia Istifhama, serta Heri Gunawan.
Tiga akademisi turut menjadi narasumber, yaitu Suko Widodo, Airlangga Pribadi Kusuma, dan Indah Dwi Qurbana, yang menyampaikan analisis mengenai arah demokrasi Indonesia dan etika politik berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Ketua Kelompok I BP MPR sekaligus Ketua Rapat/Ketua Badan Pengkajian MPR, Prof. Dr. Yasonna H. Laoly, menegaskan pentingnya pengkajian mendalam mengenai konsep kedaulatan rakyat dalam perspektif demokrasi Pancasila, terutama setelah empat kali tahapan perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
“Badan Pengkajian MPR mencoba mengadakan FGD ini di berbagai daerah. Kami sudah menampung banyak pemikiran dari para pakar terkait bagaimana merujuk Pancasila, khususnya sila kedua dan sila keempat, dan bagaimana kedaulatan rakyat sejatinya tercermin di dalamnya,” ujar Yasonna.
Menurutnya, perkembangan praktik ketatanegaraan, serta sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi belakangan ini, termasuk tafsir mengenai Pasal 18 terkait pemilihan kepala daerah, telah memunculkan urgensi untuk memikirkan kembali berbagai aspek dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Sudah saatnya kita berpikir dalam banyak hal. Ada putusan MK lagi tentang pemilihan langsung dan pemilihan demokratis kepala daerah. Ini semua perlu kita cermati dalam kerangka demokrasi Pancasila,” ujarnya.
Ia menyebutkan dirinya baru menerima salah satu buku kajian terkait perubahan UUD 1945 dari Dr. Ahmad Basarah, yang ditulis oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, dan menilai bahwa kajian-kajian semacam ini menjadi masukan penting bagi arah pemikiran Badan Pengkajian MPR.
Dalam paparannya, salah satu narasumber Airlangga Pribadi menegaskan etika politik yang dirumuskan sejak masa BPUPKI berakar pada etika kerakyatan, bukan etika kerajaan. Etika ini ditekankan untuk mencegah kekuasaan diwariskan atau dipusatkan pada keluarga maupun kelompok tertentu.
“Penegasan ini penting mengingat demokrasi kontemporer kerap diwarnai kecenderungan oligarki dan konsentrasi kekuasaan,” ujarnya.
Para narasumber juga menambahkan bahwa etika lingkungan kini menjadi bagian penting dari etika Pancasila modern. Pembangunan tidak lagi cukup diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari keberlanjutan sumber daya alam serta keselamatan rakyat dalam menghadapi perubahan iklim.
Kebijakan hilirisasi dinilai bermanfaat, namun harus dibarengi dengan perlindungan lingkungan dan pemerataan pembangunan antarwilayah.
Diskusi turut membahas isu-isu strategis yang kerap terpinggirkan, seperti penghormatan terhadap perbedaan, penguatan hak perempuan, dan perlindungan pekerja rumah tangga. Semua isu tersebut dinilai sebagai bagian integral dari upaya memperkuat kedaulatan rakyat dalam kerangka Demokrasi Pancasila.
Narasumber Suko Widodo menekankan pentingnya partisipasi publik sebagai “filter demokrasi”, mulai dari proses pemilihan pemimpin hingga pengawasan kebijakan. Menurutnya, masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek demokrasi, tetapi harus menjadi subjek aktif.
Indah Dwi Qurbana menambahkan mekanisme check and balance perlu terus diperkuat, baik melalui pembagian maupun pemisahan kekuasaan, untuk menjaga keseimbangan relasi sosial dan politik.
Dalam hal itu, Anggota BP MPR juga menyinggung wacana Perubahan Kelima UUD 1945, terutama dalam hal penguatan pedoman hidup berbangsa, perumusan kembali makna “hikmah kebijaksanaan” dalam demokrasi, serta pembenahan struktur ketatanegaraan agar adaptif terhadap zaman.
Para pembicara menilai reformasi politik Indonesia harus direvitalisasi berdasarkan nilai Pancasila, bukan sekadar mengikuti tren global tanpa fondasi filosofis yang kuat.
Anggota DPD sekaligus Anggota BP MPR, Lia Istifhama membahas bagaimana digitalisasi membawa peluang sekaligus risiko bagi kualitas demokrasi, terutama bagi generasi milenial dan Gen-Z.
Ning Lia menyinggung potensi penguatan demokrasi melalui e-consultation, e-referendum, dan e-hearing, namun mengingatkan adanya ancaman disrupsi digital yang dapat melemahkan demokrasi substantif jika tidak dikelola dengan baik.
Senator Jatim itu juga menekankan pentingnya membangun kepercayaan publik (H-Trust) di era keterbukaan digital. Ia menutup sesi dengan pantun yang mengajak peserta merenungkan kembali komitmen terhadap demokrasi bangsa.
Melalui FGD ini, Badan Pengkajian MPR menegaskan komitmennya untuk menjadikan Pancasila sebagai kompas utama dalam perumusan kebijakan nasional, terutama dalam menghadapi tantangan era digital seperti disinformasi, polarisasi, eksploitasi data, dan ancaman terhadap integritas demokrasi. (*/HR)

Social Footer